Kabupaten Tangerang Liputan45.com Polemik mengenai kenaikan upah minimum kembali memanas di Provinsi Banten. Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Provinsi Banten dituding melakukan pembangkangan konstitusi terkait sikapnya terhadap Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia (Permenaker RI) Nomor 16 Tahun 2024 tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2025.
Permenaker tersebut mengatur kenaikan upah minimum kabupaten/kota (UMK) tahun 2025 sebesar 6,5% dari UMK tahun 2024. Selain itu, regulasi ini juga menegaskan bahwa penetapan upah minimum sektoral kabupaten/kota (UMSK) harus berdasarkan rekomendasi Dewan Pengupahan tanpa melalui negosiasi dengan asosiasi pengusaha.
Namun, di tengah pembahasan yang sedang berlangsung di tingkat kabupaten/kota, Dewan Pimpinan Provinsi APINDO Banten menerbitkan surat arahan bernomor 563/A3/AP.Btn/XII/2024. Dalam surat tersebut, APINDO menyatakan:
Tidak menerima kenaikan UMK sebesar 6,5%.Mengusulkan kenaikan UMK berdasarkan formula Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2023 dengan indeks yang sama seperti tahun sebelumnya. Menyerukan agar UMSK digantikan dengan mekanisme perundingan bipartit antara pekerja/serikat buruh dengan perusahaan.
Surat yang ditandatangani oleh Ketua APINDO Provinsi Banten Yakub F. Ismail, S.E., M.M. dan Sekretaris Tomy Rachmatullah, S.E. ini menuai kecaman dari berbagai pihak. Ketua DPC KSPSI Kabupaten Tangerang, Rustam Effendi, S.H., M.M., menilai langkah APINDO sebagai tindakan pembangkangan konstitusi.
“Ini jelas pelanggaran terhadap konstitusi. Permenaker Nomor 16 Tahun 2024 adalah pedoman hukum yang mengikat, dan semua pihak, termasuk pengusaha, wajib mematuhinya. Langkah APINDO Banten yang mengabaikan ketentuan tersebut adalah bentuk pembangkangan konstitusi,” tegas Rustam Effendi. Pada Sabtu, 14 Desember 2024
Rustam juga mengingatkan bahwa pemerintah, melalui Menteri Ketenagakerjaan, telah menginstruksikan seluruh gubernur, bupati, dan walikota untuk mematuhi aturan tersebut dalam menetapkan UMK dan UMSK.
“Apa yang terjadi di Banten adalah kenyataan yang tidak bisa kita abaikan. APINDO seolah mengutamakan kepentingan pengusaha tanpa mempertimbangkan kesejahteraan pekerja yang menjadi amanat konstitusi,” tambahnya.
Sementara itu, APINDO Banten menyatakan bahwa sikap mereka bertujuan untuk menjaga keberlanjutan usaha di tengah kondisi ekonomi yang masih penuh tantangan. “Kami memahami tujuan pemerintah, tetapi dunia usaha masih dalam fase bertahan. Kenaikan upah sebesar 6,5% akan memberikan tekanan tambahan bagi perusahaan,” tulis mereka dalam surat tersebut.
Meski demikian, sikap APINDO ini memunculkan pertanyaan mengenai komitmen mereka dalam menjalankan kewajiban konstitusional. Proses penetapan UMK dan UMSK kini menjadi perhatian publik, terutama para pekerja dan serikat buruh yang mengharapkan keadilan dalam kebijakan upah minimum.
Apakah langkah APINDO ini akan berdampak pada stabilitas hubungan industrial di Banten? Ataukah pemerintah akan mengambil tindakan tegas untuk memastikan kepatuhan terhadap aturan hukum? Waktu akan menjawab. Satu hal yang pasti, keseimbangan antara kepentingan pengusaha dan kesejahteraan pekerja menjadi ujian besar dalam dinamika ketenagakerjaan di Banten. (Red)